Teknologi

otoritas Ingin Kembangkan Bioetanol, Hal ini Risiko Pengadaan Bahan BBN Bagi Kelestarian Hutan

58
×

otoritas Ingin Kembangkan Bioetanol, Hal ini Risiko Pengadaan Bahan BBN Bagi Kelestarian Hutan

Sebarkan artikel ini

Jakarta – otoritas berencana melakukan pembatasan BBM bersubsidi salah satunya bensin pada masyarakat. Selain menurunkan beban anggaran subsidi, rencana itu diklaim bertujuan untuk mengempiskan polusi. Sebagai gantinya, pemerintah sedang menyiapkan materi bakar nabati yang mana diklaim lebih tinggi ramah lingkungan daripada komponen bakar minyak berbahan fosil. Bioetanol bermetamorfosis menjadi salah satu opsi yang mana disebut-sebut pemerintah. 

Pemerintah akan memacu penyelenggaraan bioetanol sebagai pengganti bensin. Menurut Menteri Koordinator Sektor Kemaritiman juga Penanaman Modal Luhut Binsar Pandjaitan, bioetanol bisa saja mengempiskan polusi akibat miliki isi sulfur yang dimaksud sangat jauh tambahan rendah dari BBM. 

“Sulfur (pada bensin) ini sampai 500 ppm. Kita mau sulfur 50 ppm. Hal ini sedang diproses, dikerjakan Pertamina,” ujar Luhut melalui unggahan ke akun Instagram @luhut.pandjaitan, pada Selasa, 9 Juli 2024.

Bioetanol adalah jenis substansi bakar yang tersebut diperoleh melalui serangkaian fermentasi biologis dari unsur organik, khususnya vegetasi yang digunakan kaya karbohidrat seperti jagung, tebu, sorgum, kemudian flora lainnya. Proses fermentasi ini mengubah gula pada vegetasi bermetamorfosis menjadi etanol, yang dapat digunakan sebagai materi bakar pada mesin kendaraan.

Bioetanol dikenal sebagai komponen kimia yang ramah lingkungan lantaran dibuat dari bahan-bahan alam, baik yang dapat dimakan (edible) maupun yang dimaksud tak dapat dimakan (non-edible). Pembakaran bioetanol menghasilkan kembali CO2 yang dapat digunakan kembali oleh tanaman, sehingga bioetanol memiliki kemungkinan menjadi komponen bakar yang dimaksud ramah lingkungan dan juga berkelanjutan.

Potensi Risiko Bioethanol

Meskipun begitu, dilansir dari Lets Talk Science, bioethanol dianggap netral karbon. Namun, tahapan produksinya tidak ada demikian. Bahan bakar fosil kerap digunakan sepanjang serangkaian produksi biofuel. Sebagai contoh, traktor para petani menggunakan materi bakar diesel. Truk yang digunakan mengangkut unsur baku ke kilang biofuel juga menggunakan komponen bakar diesel. Kilang biofuel itu sendiri kadang-kadang menggunakan substansi bakar fosil untuk tenaga. Jika energi input untuk menimbulkan materi bakar lebih tinggi besar daripada energi output, maka unsur bakar yang dimaksud memiliki neraca energi negatif. Itu tidaklah baik. Jika energi output lebih tinggi besar daripada energi input, material bakar yang dimaksud mempunyai neraca energi positif.

Penggunaan materi bakar nabati seperti bioetanol juga menyebabkan pro kontra, bagi yang mendukung, aspek polusi udara juga sumber yang dimaksud mampu ditingkatkan menjadi pertimbangan, namun bagi yang digunakan kontra, tambahan meninjau isu inovasi lahan. 

Seperti diketahui, pada memproduksi banyak unsur bakar nabati, diperlukan lahan luas untuk menginvestasikan vegetasi komponen bakunya. Misalnya sawit, jagung, singkong atau tebu. Jika direalisasikan besar-besaran, apalagi melahap sejumlah hutan, berpotensi memicu konversi lahan hutan juga padang rumput berubah menjadi perkebunan monokultur, yang dimaksud berakibat pada hilangnya keanekaragaman hayati, degradasi tanah, kemudian emisi gas rumah kaca dari deforestasi.

Selain itu, biofuel datang dengan beberapa permasalahan sektor ekonomi serta kesulitan etis. Secara khusus, apa yang terjadi apabila khalayak menggunakan lahan pertanian untuk menumbuhkan biomassa substansi bakar alih-alih makanan? Ini adalah berkaitan dengan ketahanan pangan. Kritikus biofuel generasi pertama berpendapat bahwa penyelenggaraan flora pangan untuk produksi material bakar meningkatkan harga jual makanan. Hal ini menimbulkan khalayak lebih lanjut sulit untuk mampu makan dengan sehat.

Bahan bioetanol dari jagung misalnya, jagung adalah substansi baku yang dimaksud dapat diperbarui. Namun, beberapa panen lebih tinggi berhasil daripada yang digunakan lain. Itu berarti pasokannya mampu bervariasi. Ketika status pertanian baik, mungkin saja ada sejumlah jagung. Mungkin cukup untuk makanan manusia, pakan ternak, juga produksi biofuel. Namun, terkadang gagal panen sebab situasi seperti kekeringan, banjir, serta periode dingin. Pada saat-saat ini, pasokan jagung bisa jadi turun. Dan saat pasokan suatu komoditas turun, harganya akan naik. Itu akan berubah menjadi permasalahan baru. 

ANANDA RIDHO SULISTYA | SHARISYA KUSUMA RAHMANDA | YOLANDA AGNE | RIRI RAHAYU | MYESHA FATINA RACHMAN

Pilihan Editor: Agar Kemenangan Besar Rencana Bioetanol Tercapai

Artikel ini disadur dari Pemerintah Ingin Kembangkan Bioetanol, Ini Risiko Pengadaan Bahan BBN Bagi Kelestarian Hutan