Teknologi

Publik Sipil dan juga Adat Tolak Pengesahan RUU KSDAHE pada 11 Juli

62
×

Publik Sipil dan juga Adat Tolak Pengesahan RUU KSDAHE pada 11 Juli

Sebarkan artikel ini

Jakarta – Publik sipil pembela HAM juga rakyat adat menyampaikan surat terbuka untuk Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Konservasi Informan Daya Alam Hayati serta Ekosistemnya (RUU KSDAHE) pasca delapan tahun lebih tinggi rancangan itu pergi dari masuk inisiatif legislasi nasional.

Sejak Januari tak lama kemudian penduduk sipil telah dilakukan menyampaikan masukan substansi RUU KSDAHE di bentuk policy brief lalu daftar inventarisasi hambatan (DIM). Perwakilan Badan Registrasi Wilayah Adat, Cindy Julianty, menyatakan hingga draft terakhir yang dimaksud diterima pada Desember 2023, tidaklah ada pembaharuan positif secara materil maupun formil dari langkah-langkah legislasi RUU KSDAHE.

Menurut Cindy, pembahasan belum mengakomodir partisipasi publik. Ia menyebutkan DPR malah ingin segera mengesahkan RUU yang disebutkan pada 11 Juli 2024. “Ada tiga alasan mengapa kami menolak pengesahan dan juga mendesak penundaan RUU KSDAHE, juga menuntut agar pemerintah tidaklah tergesa-gesa pada mengesahkan RUU KSDAHE,” ujar Cindy untuk Tempo, Kamis, 27 Juli 2024.

Pertama, ujarnya, tahapan legislasi RUU KSDAHE tidaklah transparan juga partisipatif (meaningfully participated) khususnya di perumusan pasal–pasal. Hal ini dibuktikan dengan tidak ada adanya dokumen pada web web (dpr.go.id) terkait pembahasan legislasi.

Kedua, tak diakomodirnya usulan penduduk sipil terkait aspek partisipasi masyarakat, pemeliharaan serta pengakuan hak–hak rakyat adat lalu rakyat lokal.

Ketiga, masyarakat sipil menemukan pasal-pasal yang digunakan bermasalah, kemudian membuka prospek lebih banyak berbagai terjadinya peluang kriminalisasi, diskriminasi, pengabaian hak terhadap masyarakat adat lalu komunitas lokal yang tersebut hidup didalam serta sekitar kawasan konservasi.

Manajer Kajian Hukum dan juga Kebijakan Walhi, Satrio Manggala, mengungkapkan RUU KSDAHE menggunakan pendekatan represif untuk memverifikasi supaya kegiatan konservasi berjalan. Hal ini  terlihat dari bentuk-bentuk sanksi dan juga pemidanaan yang tersebut lebih lanjut berorientasi pada pidana penjara.

“Padahal pidana koservasi memiliki motif ekonomi, sehingga seharusnya lebih lanjut menekankan sanksi denda lalu perampasan asset. Sanksi pidana ini juga bukanlah ditujukan untuk korporasi melainkan perorangan, sehingga membuka lebih lanjut berbagai kemungkinan kriminalisasi,” kata Satrio terhadap Tempo, Kamis.

Lebih lanjut, Satrio menyimpulkan RUU KSDAHE mempunyai paradigma konservasi yang cenderung melihat 
masyarakat adat dan juga komunitas lokal sebagai ancaman, bukanlah sebagai mitra yang digunakan berkontribusi 
dalam pengelolaan konservasi. Alhasil pendekatan yang mana dikerjakan negara justru kembali memunculkan konflik serta mengeksklusi warga dari ruang hidupnya. 

Kritik lain disampaikan Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum lalu HAM Aliansi Publik Adat Nusantara (AMAN) Moehammad Arman. Dia menyebutkan cara menghadapi persoalan penyelenggaraan konservasi hari ini yang dimaksud bukan berbasis pada hak asasi manusia juga abai terhadap hak Publik adat.

Berdasarkan pemantauan AMAN, menurut Arman, RUU KSDAHE juga tidak ada mengubah status quo, artinya tak ada inovasi positif. Hal ini dibuktikan dengan bukan adanya partisipasi berarti kemudian persetujuan melawan dasar tanpa paksaan di dalam awal (Padiatapa) pada penetapan kawasan konservasi. 

“Kita tahu sejumlah dari persoalan hukum kriminalisasi berjalan akibat negara tak memperhatikan aspek ini. Misalnya perkara dalam Colol, NTT, yang mana dikenal dengan ‘Rabu Berdarah’ yang tersebut menyebabkan enam warga tewas, 28 warga luka-luka serta tiga pendatang di antaranya cacat permanen, sehingga bermetamorfosis menjadi kekeliruan apabila RUU tidak ada mengatur aspek hak lalu partisipasi,” kata Arman.

Menurut dia, aspek mendesak masuknya hak masyarakat adat akibat ada 75 persen wilayah adat masuk ke di kawasan hutan dalam mana 1,6 jt hektare wilayah yang mana masuk pada konservasi miliki populasi sekitar 2,9 jt orang.

“RUU ini juga miliki pasal bermasalah terkait dengan Areal Preservasi (Pasal 8) yang digunakan tidak ada jelas dan juga tak menjawab tuntutan untuk mengakui aktor konservasi lain ke luar negara,” ungkapnya.

Artikel ini disadur dari Masyarakat Sipil dan Adat Tolak Pengesahan RUU KSDAHE pada 11 Juli