JAKARTA – Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengupayakan Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk memberantas secara tuntas perkara korupsi tambang nikel pada Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra). Karena itu Kejagung bukan hanya saja mempidanakan operator tambang tapi juga pembesar-pembesar yang digunakan turut bermain.
“Karena pada lapangan itu yang warga tahu tidak orang-orang ini yang tersebut warga tahu itu, punya bapak ini, bintang ini, punya institusi ini. Jadi ada institusi-institusi besar yang mana disebut dalam lapangan itu,” ujar Kepala Divisi Hukum Jatam, Muhammad Jamil pada waktu dihubungi dalam Jakarta, Hari Jumat (26/4/2024).
Sebab apabila tindakan hukum korupsi nikel di dalam Konawe Utara tiada dilaksanakan secara tuntas, dengan semata-mata menetapkan beberapa dituduh maka terkesan belaka untuk menggugurkan langkah-langkah penegakan hukum. Karena itu, Kejagung harus berani mencari kemudian memposes hukum otak atau dalang utama dari persoalan hukum korupsi nikel yang mengakibatkan kerugian besar tersebut. Karena sangat tiada mungkin saja tindakan korupsi nikel bukan dijalankan secara berjamaah.
“Mungkin nggak ada bekingnya. Seringkali pada tahapan ini hanya sekali operator sekadar yang mana dihukum belaka belaka dalam blok nikel ini. Memang telah ada Dirjen Minerba juga yang tersebut terseret itu tapi saya kira tidaklah berhenti hanya saja di situ saja,” tegas Jamil.
Selain itu di serangkaian penegakan hukum tindakan hukum korupsi nikel ke Konawe Utara, Jamil berharap Kejagung harus berani membebankan kehancuran alam untuk tersangka. Sebab kecacatan alam yang dimaksud ditimbulkan akibat tindakan penambangan ilegal yang dimaksud berdampak secara langsung terhadap masyarakat.
Jadi apabila pada akhirnya negara juga yang dimaksud memulihkan kehancuran alam yang dimaksud maka langkah-langkah hukum yang mana telah lama diwujudkan tidaklah memunculkan efek jera. “Harusnya berani (Kejagung). Karena telah berani pada tindakan hukum timah kemudian berani mendalilkan kerusakan Rp271 triliun kehancuran yang merupakan biaya ongkos pemulihan lingkungan yang dimaksud ditimbulkan meskinya itu dimunculkan pada surat dakwaan nikel,” kata Jamil.
Selain itu, Jamil menafsirkan persoalan hukum korupsi nikel atau sumber daya (SDA) alam secara umum, merupakan korupsi terbesar dalam Indonesia. Bahkan jika dibandingkan korupsi anggaran APBN atau APBD, korupsi SDA nilai kerugian lalu kehancuran sangat lebih besar fantastis. Disebutnya pemulihan kecacatan alam akibat korupsi pertambangan membutuhkan jangka waktu yang panjang.
“Saya kira yang tersebut berubah menjadi PR pada tindakan hukum seperti ini adalah seringkali yang digunakan dikejar itu pengembalian beberapa orang uang yang tersebut dianggap berubah jadi kerugian negara,” Jamil menambahkan.
Sebelumnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memvonis terdakwa Windu Aji Sutanto selaku pemilik PT Lawu Agung Mining, terdakwa Ofan Sofwan selaku Direktur PT Lawu Agung Mining, lalu terdakwa Glenn Ario Sudarto selaku pelaksana lapangan PT Lawu Agung Mining, dengan hukuman 6 sampai 8 tahun penjara.
Vonis dijatuhkan terhadap para terdakwa terkait dengan persoalan hukum korupsi pertambangan ore nikel dalam wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Antam ke Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
“Mengadili, menyatakan terdakwa satu Glenn Ario Sudarto, terdakwa dua Ofan Sofwan, serta terdakwa tiga Windu Aji Sutanto terbukti secara sah kemudian meyakinkan bersalah melakukan langkah pidana korupsi sebagaimana dakwaan primair penuntut umum,” ucap hakim dalam Pengadilan Tipikor, DKI Jakarta Pusat.
Artikel ini disadur dari Jatam Dukung Kejagung Berantas Tuntas Kasus Korupsi Tambang