Entertainment

Musik rock pada era digital

63
×

Musik rock pada era digital

Sebarkan artikel ini
Musik rock pada era digital

Ibukota – Perkembangan teknologi dari analog ke digital pada memproduksi musik, secara segera turut mengubah bidang musik, teristimewa bagaimana musik itu dibuat juga dikonsumsi.

Pada era analog, musisi rock Indonesia pernah merasakan manisnya jualan album fisik, misalnya God Bless melalui album Semut Hitam pada 1988 dengan total pelanggan sekira 400 ribu copy. Sedangkan pada era semi-digital Jamrud bisa saja menembus 2 jt copy melalui album Ningrat pada 2000.

Padi, Dewa, serta Cokelat adalah beberapa band yang dengan embel-embel rock rock alternatif atau pop-rock — yang pernah mencicipi manisnya era musik dari sisi industri sebelum era digital benar-benar bergulir.

Era digital di produksi musik ibarat "taman bermain" bagi musisi. Mereka mampu menciptakan efek suara, bereksperimen, dan juga rute rekaman menjadi tambahan praktis.

Namun, diperkenalkan teknologi digital juga mengantarkan masalah. Padahal, sebelumnya kita sepakati bahwa teknologi digital begitu berguna di rute produksi.

Permasalahannya adalah pada saat format musik digital MP3 begitu mudah-mudahan diunduh, disebar, serta dinikmati pada bentuk "bajakan".

"Manis banget, tapi zaman berubah. Masa kaset ke CD tak terlalu terasa. Tapi sewaktu CD dihajar MP3, itu terasa banget. Bajakan dalam mana-mana. Tapi, musik kekal bertahan," kata pemain bas grup Cokelat Ronny Febry Nugroho untuk ANTARA.

Layanan bajakan bukanlah hal baru di sektor musik lantaran telah sejak zaman kaset pita. Jadi, tidak alasan bagi musisi untuk habis akal walaupun permanen susah untuk dilawan.

 

Lokananta merupakan perusahaan rekaman musik pertama Negara Indonesia yang mana dirintis Oetojo Soemowidjojo lalu Raden Ngabehi Soegoto Soerjodipoero pada 29 Oktober 1956 yang digunakan memproduksi kemudian duplikasi piringan hitam hingga cassette audio. (ANTARA FOTO/MOHAMMAD AYUDHA)

Penjualan album fisik pada awal 2000-an terus menurun. Bahkan setelahnya era itu, tidaklah ada album yang digunakan dapat menembus satu jt kopi hingga 2010. Jangan tanya bagaimana era sekarang, tembus 150 ribu copy cuma telah mendapat penghargaan platinum.

Tentu, hal itu adalah dekade yang dimaksud penuh tantangan untuk pemusik. Lantas bagaimana dia bertahan pada periode transisi teknologi serta bidang usaha itu?

"Jangan sebab pernah jual satu jt copy kemudian sekarang cuma jual 150 ribu, terus jadi lemah serta malas," kata Ronny. "Justru itu tantangannya. Bagaimana berkarya ketika teknologi terus bergerak. Ada digital, ada streaming, dan bagaimana kesempatan pada masa depan."

"Teruslah berkarya, akibat karya terbaik akan masih dicari. Musik tak akan mati. Bisnis lain tidak ada berakhir dengan hadirnya digital, bukan?" kata dia.

Eet Sjahranie, gitaris Edane dan juga mantan personel God Bless, tidaklah punya resep khusus untuk bertahan pada skena musik rock selama lebih besar 30 tahun, selain semangat untuk terus berkarya.

"Kuncinya lantaran senang. Bukan tak butuh duit. Tapi kalau senang, ya tak kepikiran yang digunakan lain. Berkarya semata terus," kata Eet.

Gitaris nyentrik penggemar band hard-rock Van Halen itu tidaklah mau ambil pusing mengenai transformasi teknologi analog ke digital yang dimaksud turut mengubah pola pendengar dari kaset ke streaming melalui ponsel.

"Digital itu memberikan hal yang dimaksud praktis," katanya. "Tidak ada kesulitan kemudian memang benar harus mengambil bagian zaman."

Selain pernah sukses bersatu God Bless, nama Eet juga pernah berkibar ketika Edane merilis album 170 Volts pada 2002 dengan hits "Kau Pikir Kau Lah Segalanya".

Dalam transisi pola rekaman, Eet mengakui Edane pun beradaptasi menuju era digital. "Kami sudah ada digital sejak 2004. Terakhir yang mana semi-digital pada 2001. Awalnya masih pakai pita, terus pindah ke digital," kata Eet.

 

Ludacris pada waktu menyiapkan album digital pada 2003. REUTERS/Jeff Christensen JC/SV

Streaming

Studi "Music in the Digital Age: Musicians and Fans Around the World 'Come Together' on the Net" dari State University Winston-Salem, North Carolina Amerika Serikat, menemuka ada tiga jenis pendengar musik.

Pertama adalah pendengar yang siap atau mencoba membeli karya. Kedua adalah yang bukan pernah membeli tapi menikmati musik melalui radio atau televisi. Dan, ketiga adalah penikmat musik bajakan.

Saat transaksi jual beli CD menurunkan dihantam mudahnya akses musik bajakan, teknologi terus berinovasi sampai kemunculan layanan streaming musik. Penikmat musik ilegal tidak ada diperlukan membajak musik lantaran cukup dengarkan melalui perangkat lunak streaming. Sedangkan pendengar loyal tentu akan kekal membeli album fisik.

Streaming musik juga membuka jendela bagi pendengar musik lainnya untuk mencoba mendengarkan musik-musik baru. Penggemar rock bisa mendengarkan musik jazz atau country tanpa harus membeli, sedangkan musisi kekal mendapatkan haknya dari pemutar digital itu.

Musisi Eddi Hidayatullah atau akrab disapa Eddi Brokoli memandang era musik rock sudah lebih besar terbuka dan juga lepas dari pakem-pakem rock terdahulu.

"Sekarang, rock semakin ramai. Jika gua punya anak pada era 2000-an, kemungkinan besar rak kasetnya berisi Metallica, Pantera, Antrax, Slayer, alias satu genre semua. Bisa juga Sex pistols, The Clash, Ramones, lalu kawan-kawannya," katanya.

"Tapi, anak rock sekarang bisa jadi semata habis dengan Greenday pindah ke Coldplay, dan juga lain-lain. Mereka tak salah, memang sebenarnya era ini menciptakan referensi menjadi banyak," kata vokalis grup musik Harapan Jaya itu.

"Sekarang, semua warga layak menjadi music director karena referensi musiknya banyak."

Era musik streaming juga membuka mata penikmat musik untuk menyimak perkembangan terkini. Tanpa harus berburu kaset, cukup pijat layar ponsel.

"Saat gua menyingkap Youtube, gua mau tahu the latest band rock. Ternyata, banyak yang gua belom tahu. Ternyata, ada band ini, musik rock sekarang seperti ini. Tapi, ada juga band rock yang lain, yang digunakan berbeda," kata Ronny.

Bukan sekadar menciptakan musik lebih besar praktis, era streaming juga memberikan harapan terhadap para musikus untuk mendapatkan hak-haknya dari lagu-lagu yang tersebut diputar secara digital.

"Sejauh ini belum cek detail. Tapi, ada report dari record company kalau memang benar ada yang dimaksud masuk kemudian digital itu ada efeknya," kata Eet.

Eet, Ronny dan juga Eddi menyimpulkan era musik streaming membuka prospek seluas-luasnya untuk calon musikus untuk berkarya. Berkat kemudahan digital, musik sanggup diproduksi ke rumah, didistribusikan lewat platform online, tanpa terikat label rekaman, biaya rendah, efisien, kemudian dapat menyentuh segmen pendengar secara spesifik.

Satu lagi, melalui platform digital berbasis web, musikus bukan cuma menyuguhkan lagu, melainkan informasi jadwal panggung, musik hingga perdagangan merchandise dalam satu paket.

"Kuncinya adalah karya. Terus berkarya, nanti ketemu jalannya," kata Ronny.

Artikel ini disadur dari Musik rock pada era digital