Yogyakarta – Menyambut pergantian tahun baru Jawa 1 Sura atau 1 Suro, Keraton Yogyakarta kembali mengadakan tradisi Lampah Budaya Mubeng Beteng atau berjalan kaki mengelilingi benteng keraton pada Minggu petang, 7 Juli 2024.
Sebelum tradisi itu diselenggarakan tepat pukul 24.00, ada banyak prosesi yang dimaksud direalisasikan mulai pukul 21.00 Waktu Indonesia Barat bertempat pada Pelataran Kamandungan Lor atau Keben Keraton Yogyakarta. Salah satunya prosesi atau ritual pembacaan Macapat Ba’ da isya atau dikenal Macapatan.
Mengacu dokumen Dinas Perpustakaan kemudian Arsip Daerah Istimewa Yogyakarta
Tradisi Macapatan merupakan pembacaan kitab atau serat yang tersebut ditembangkan tanpa iringan musik yang mana kerap diselenggarakan Keraton Yogyakarta pada momen-momen tertentu. Biasanya disajikan di bentuk metrum tembang macapat. Tradisi Macapat dikenalkan dan juga dipopulerkan secara luas oleh para wali sebagai salah satu jalan dakwah untuk menantang rakyat Jawa menganut agama Islam.
Berkaca pada penyelenggaraan Mubeng Beteng Keraton Yogyakarta pada 2023 lalu, ada beberapa orang Kidung Pandonga (tembang doa) yang tersebut dibawakan para abdi pada waktu prosesi Macapatan. Seperti Kidung Pandonga, Kidung Tolak Balak, juga Werdining Surat Al Fatihah.
Sedangkan ketika pandemi wabah Covid-19 masih berlangsung 2022 silam, di dalam mana Mubeng Beteng ditiadakan Keraton Yogya, tembang Macapat yang dilantunkan sebagai pengganti mencapai 10 tajuk dalam mana semua syairnya berisi doa.
Sebagai Warisan Budaya Tak Benda, Macapat miliki tiga metrum atau aturan baku yang mana harus terus-menerus dijadikan sebagai patokan. Pertama Guru Gatra yang tersebut merujuk total baris di satu baris, kedua Guru Wilangan merujuk jumlah keseluruhan suku kata pada tiap baris juga ketiga Guru Lagu sebagai vokal terakhir pada setiap baris.
Kementerian Pendidikan serta Kebudayaan mencatat, bahasa yang digunakan digunakan di Macapatan bergantung naskah babad atau serat yang tersebut akan dilagukan. Akan tetapi pada umumnya, bahasa yang mana digunakan merupakan Bahasa Jawa Baru.
Selain Macapatan, ada beberapa orang prosesi mendekati pemberangkatan partisipan Mubeng Beteng Keraton Yogyakarta. Melansir penjelasan Keraton Yogyakarta, prosesi sebelum Mubeng Beteng itu antara lain penyerahan dwaja (bendera) yang tersebut terdiri dari bendera Merah Putih, bendera Gula Klapa (bendera Kasultanan), dan juga Klebet Budi Wadu Praja (Daerah Istimewa Yogyakarta).
Termasuk penyerahan lima bendera yang mana merepresentasikan kabupaten serta kotamadya ke Daerah Istimewa Yogyakarta. Yaitu Bendera Klebet Bangun Tolak (simbol untuk Daerah Perkotaan Yogyakarta), Mega Ngampak (Kabupaten Sleman), Podang Ngisep Sari (Kabupaten Gunungkidul), Pandan Binetot (Kabupaten Bantul), juga Pareanom (Kabupaten Kulon Progo).
Rombongan Mubeng Beteng kemudian berangkat ditandai dengan bunyi lonceng Kamandhungan Lor sejumlah 12 kali atau tepat pukul 24.00 WIB. Para Abdi Dalem yang digunakan menyebabkan dwaja berada di dalam barisan depan, disertai oleh Abdi Dalem lainnya juga rakyat umum.
Adapun rute yang ditempuh adalah Kamandhungan Lor, Ngabean, Pojok Beteng Kulon, Plengkung Gading, Pojok Beteng Wetan, jalan Ibu Ruswo, Alun-Alun Utara, berikutnya kembali lagi ke Kamandhungan Lor.
: 3 Tahun Absen, Ribuan Komunitas Kembali Padati Keraton Yogyakarta Ikut Tradisi Mubeng Beteng
Artikel ini disadur dari Mengenal Sederet Prosesi Wajib Sebelum Mubeng Beteng Keraton Yogyakarta Saat Malam 1 Suro